Bank: Mengapa OJK didirikan

Secara historis, cikal bakal Otoritas Jasa Keuangan tercetus setelah diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dinyatakan secara tegas, bahwa tugas pengawasan lembaga jasa keuangan nantinya akan diserahkan kepada lembaga independen yang dibentuk melalui Undang-Undang. Alasan inilah yang kemudian menjadi landasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.
Selain terkait penegasan normatif, pendirian Otoritas Jasa Keuangan juga disebabkan semakin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Selain itu, pemerintah merasa bahwa Bank Indonesia, sebagai bank sentral telah beberapa kali gagal mengawasi sektor perbankan.
Salah satu contoh konkret kegagalan Bank Indonesia tampak pada krisis pertengahan tahun 1997 yang berujung likuidasi (pembubaran) terhadap 16 bank nasional. Pasca krisis yang menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan di Indonesia ini, pemerintah melalui UU No.23 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan yang lebih independen dan profesional.
Tahun 2004, melalui UU No 3 Tahun 2004, pemerintah merevisi UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU No 3 Tahun 2004 termuat ketentuan mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Disebutkan pula bahwa pembentukan lembaga dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010. Namun, hingga batas waktu yang telah ditetapkan, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan belum juga dapat dilaksanakan. Barulah pada tahun 2011, DPR akhirnya mengesahkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Diharapkan, ini semua akan mengarah pada menguatnya pondasi perekonomian Indonesia serta terciptanya iklim investasi yang memberi peluang bagi bertumbuhnya beragam sektor usaha baru.
Secara konkret, pasar finansial berkembang pesat seiring tersedianya teknologi penunjang yang meningkatkan keterlibatan masyarakat untuk berinvestasi pada lembaga penyedia jasa keuangan, baik sektor perbankan atau non-bank. Oleh karenanya, pemerintah perlu mengatur dan menata kembali struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan (mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya).
Dengan terselenggaranya jasa keuangan yang baik, adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, maka diyakini akan berdampak terhadap perbaikan kinerja jasa keuangan di Indonesia. Masyarakat, sebagai konsumen pun diharapkan akan memiliki tingkat kepercayaan yang kian tinggi terhadap jasa keuangan, sehingga dapat menopang stabilitas sektor keuangan dan memberi konstribusi kepada perekonomian secara keseluruhan, melalui kelancaran fungsi intermediasi (penyaluran dana) dari sektor perbankan ke sektor riil.
Otoritas Jasa Keuangan, pada dasarnya, merupakan lembaga pengganti dari Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) sebagai lembaga pengatur dan pengawas pasar modal di Indonesia, sekaligus menggantikan Bank Indonesia dalam melakukan pengaturan terhadap lembaga perbankan, serta melindungi konsumen dalam kaitannya dengan keberadaan lembaga jasa keuangan, baik bank maupun non bank.
Namun, tidak seluruh tugas Bank Indonesia dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan. Bank Indonesia, sebagai bank sentral, tetap memiliki kewenangan dan fokus pada bidang pengawasan makro (macro prudential supervision), misalnya, kebijakan moneter dan kebijakan dalam menangani krisis. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan menangani bidang tugas yang lebih bersifat mikro dan khusus (micro prudential supervision), di antaranya, persoalan teknis yang berkaitan dengan jasa keuangan.
Lebih lanjut, macro prudential supervision memiliki tujuan melakukan pemantauan dan penilaian terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Sedangkan micro prudential supervision bertujuan melaksanakan pemantauan dan penilaian terhadap sistem dari masing-masing lembaga keuangan. Selain itu, macro prudential supervision dimaksudkan guna menghindari guncangan ekonomi atau kemerosotan Produk Domestik Bruto, sementara micro prudential supervision berfokus pada perlindungan konsumen (nasabah/investor).
Dapat dikatakan, bahwa dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, maka akan terbentuk mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan, sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Ishar Yulian Satriani
Entah mau ngetik apaan :v
SHARE

0 Komentar

Post a Comment

Berikan pendapat Anda tentang materi yang kami sajikan!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel